Selasa, 21 April 2015
Pemateri : Ustaz Ahmad Rofiqi L.c.
Pernahkah sahabat mendengar ungkapan bahwa Allah membelenggu setan ketika Ramadan? Ya, pada bulan Ramadan Allah meringankan gangguan dari luar diri kita untuk menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dengan membelenggu setan. Mari kita simak hadits berikut ini.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah Ra., bahwasanya Rasul SAW bersabda: “Apabila telah datang Ramadan, pintu-pintu surga dibukakan, pintu-pintu-pintu neraka ditutup
rapat dan setan-setan dibelenggu.”
Walaupun begitu, tidak sedikit
dari kita yang masih merasa berat untuk beribadah selama bulan Ramadan. Hal
tersebut dapat disebabkan karena ketidakmampuan kita untuk mengendalikan hawa
nafsu. Bagaimanakah hawa nafsu memengaruhi kualitas Ramadan kita? Apakah hawa
nafsu itu sebenarnya? Sebelum membahas jauh tentang Ramadan, mari kita kenali
hawa nafsu itu sendiri.
Unsur yang membentuk diri
kita
Manusia diciptakan terdiri dari 2 unsur, basyr dan ruh. Unsur basyr
merupakan unsur fisik atau materi
manusia berupa jasad yang diciptakan dari tanah dan dihuni oleh ruh
manusia. Unsur basyr mengalami proses
penciptaan manusia di dalam rahim ibu. Unsur basyr inilah yang memungkinkan kita untuk menjalankan fungsi
manusia makan, tidur, berlari, berjalan, bekerja, lebih jauh menjalankan fungsi
kita sebagai khalifah.
Unsur kedua yaitu unsur ruh. Unsur ruh merupakan
bagian dari manusia yang bersifat nonmateri. Unsur ruh lah yang membuat basyr hidup. Unsur ini tercipta terlebih
dulu sebelum unsur basyr dan
penggabungan dua unsur tersebut tidak diketahui prosesnya.
“Sesungguhnya
salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya
selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama
itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula,
kemudian Allah mengutus malaikat untuk
meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal:
rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya.”
(H.R. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu).
Perpaduan antara ruh dan basyr
diistilahkan dengan an-nafsu. Dalam surat Asy-Syams, Allah Swt
menerangkan:
“Dan jiwa
serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-syams (91): 7-10)
Potenti taat
dan fujur pada manusia
Pada dasarnya Allah SWT telah mengilhamkan
potensi taat dan fujur kepada setiap
manusia. Potensi taat merupakan potensi keimanan manusia menuju kesempurnaannya
sebagai hamba Allah, dan potensi ini dikendalikan oleh unsur ruhiyah manusia. Sedangkan potensi fujur dikendalikan oleh basyr, suatu potensi yang apabila
dipisahkan dari unsur ruhiyah maka
sifat manusia tersebut akan menyerupai binatang. Ketika seorang manusia
meninggalkan potensi taat yang dikendalikan ruhiyah, maka manusia tersebut
sifatnya akan menyerupai binatang yang hanya menjalankan fungsi makan, tidur,
bekerja. Unsur fujur bukanlah dosa
karena memang itu adalah fitrah kemanusiaan, dosa ada pada penyalahgunaan
potensi tersebut untuk berbuat maksiat.
Lalu apa kaitannya taat dan fujur dengan hawa
nafsu?
Basyr dan ruh merupakan unsur nafsu yang
memiliki untuk potensi taat dan fujur. Potensi tersebut adalah fitrah manusia
yang tidak perlu dihilangkan melainkan diselaraskan dengan tujuan menjadikan
manusia makhluk yang bertaqwa dan selaras dalam kehidupannya sehingga bisa
menjadi khalifah di bumi ini.
Menurut Al Qur’an, nafsu ada 3 macam:
1. Nafsu amara yaitu nafsu yang mendorong manusia untuk berbuat dosa. Nafsu
seperti ini terdapat dalam surat Yusuf yang mengisahkan keinginan Zulaikha
untuk berhubungan dengan Nabi Yusuf as.
Nafsu amara terdiri dari 4 jenis:
a. Al-malaqiyah yaitu nafsu berupa menuhakan
diri sendiri selalu ingin menang, dan ingin diagungkan seperti Fir’aun dan
Qarun.
b. Asy-syaitoniyah yaitu membangkang, mengetahui
kebenaran tetapi memilih membankang seperti sifat syaitan. Sifat ini dimiliki
oleh orang-orang liberal, atau aliran sesat lain, syiah.
c. Sab’iyah yaitu sifat yang dimiliki
hewan-hewan pemangsa dan ganas yang suka memangsa seperti harimau seperti
marah, memusuhi, iri, dengki, hasad, dll.
d. Al-bahimiyah yaitu sifat hewan ternak, yaitu
hanya makan, tidur, bersenggama, banyak bicara, dan inilah sifat yang paling
banyak ditemui pada manusia saat ini.
2. Nafsu lawamah yaitu nafsu yang mencela diri kita saat berbuat maksiat,
nafsu yang memunculkan perasaan gelisah setelah berbuat dosa, disadari atau tidak.
Nafsu lawamah adalah nafsu yang telah mengenal kebaikan.
Dari Nawwas
bin Sam’an radhiallahuanhu, dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam
beliau bersabda : “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengaggu jiwamu dan engkau tidak suka jika
diketahui manusia.” (Riwayat Muslim)
3. Nafsu mutma’inah jiwa yang telah mendapat
ketenangan; telah sanggup untuk menerima cahaya kebenaran
sang Ilahi. Terdapat dalam surat Al Fajr ayat
27-28. Nafsu ini dimiliki oleh orang-orang yang dekat dengan Allah.
“Hai
jiwa yang tenang, kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan ridho dan diridhoi.” (QS Al Fajr:
27-28)
Bagaimana
kemaksiatan terjadi?
Perbuatan maksiat yang kita lakukan terjadi
karena nafsu amara mengalahkan kendali
ruhiyah. Allah menjelaskan sifat orang-orang yang memenuhi neraka jahanam dalam
firmannya:
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-a’raf: 179)
Saat fujur
mendominasi, kemudian kehilangan kendali ruhiyah maka tak ada ketaatan pada
Allah, selain hidupnya hanya memenuhi keinginan dan kebutuhan fisik nya saja,
jika manusia seperti ini maka apa bedanya dengan hewan ternak yang hidupnya hanya
makan, tidur, bereproduksi.
Nafsu amara
yang dididik untuk mengenal dan memahami kebenaran maka akan naik tingkat
menjadi nafsu lawamah, nafsu yang
akan mencela diri dan bergejolak ketika kita melakukan maksiat. Ketika nafsu lawamah yang mencegah kita berbuat
maksiat ini kita turuti maka nafsu ini akan naik tingkat menjadi nafsu mutma’inah. Pada kondisi ini lah kita
mampu menselaraskan unsur dari diri kita yaitu ruh dan basyr.
Keselarasan ini lah yang insha Allah mampu membuat kita menjalankan fungsi khalifah
di muka bumi. Ketika makan yang sehat dan tidak berlebihan, ketika kita bekerja
maka kerjanya tak hanya untuk semata-mata mencari uang tetapi untuk beramal
terbaik untuk bermanfaat bagi diri, keluarga, dan umat maka dihindari lah
sumber penghasilan yang haram, memiliki keturunan dengan jalan yang terhormat
yaitu dengan menikah, dsb. Bukanlah harus membunuh hawa nafsu tetapi bagaimana
kita harus mendidik hawa nafsu kita agar menjadi hawa nafsu mutma’inah, hawa nafsu yang selaras,
hawa nafsu yang dipimpin dengan taqwa kepada Allah SWT.
Lalu bagaimana ramadhan dapat mendidik hawa
nafsu kita sehingga menjadi nafsu yang mutma’inah?
Ramadan
mendidik kita menjadi hamba Allah yang bertaqwa
Hakikat atau tujuan bulan Ramadan adalah
mendidik kita menjadi hamba Allah yang bertaqwa, la allaqum tattaquun. Puasa yang kita laksanakan selama sebulan
penuh di bulan Ramadan membuat kita lepas dari sifat binatang kemudian menjadi
hamba Allah yang mulia, sebagai Khalifah di bumi. Karena di saat kita
melaksanakan shaum ramadhan kita tak hanya meninggalkan sesuatu yang haram
tetapi juga meninggalkan yang halal untuk meraih keridhaan Allah Swt. Apa
maksud meninggalkan yang halal? Selama ramadhan kita tidak makan padahal makan
halal bagi kita, kita tidak minum padahal minum halal untuk kita, tidak
bersenggama padahal itu halal bagi yang sudah menikah, dan semua kehalalan itu
kita tinggalkan semata-mata untuk meraih keridaan Allah. Karakteristik orang
yang bertaqwa adalah menjalani perintah dan menjauhi larangan.
Islam memiliki 5 tingkatan perintah yaitu,
haramat, makruhat/syubhat, mubahat/halalat, sunnah, wajib.
Dari 5 tingkatan itu kita dapat lebih
memahami bahwa saat kita shaum Ramadan kita tidak hanya meninggalkan yang haram
atau syubhat tapi juga meninggalkan yang halal atau mubah sehingga fokus kita
adalah melaksanakan yang wajib dan sunnah. Ketika kita akan melakukan sesuatu
pertanyaan kita bukan lagi apakah ini halal, tetapi apakah ini diwajibkan,
apakah ini disunnahkan? Ini lah karakteristik orang –orang yang bertaqwa
menjalankan perintah Allah Swt yang wajib dan sunnah dan bersungguh-sungguh
menjaga diri dan keluarga dari apa yang Allah larang. Dalam surat Al-Maidah
ayat 88, Allah menerangkan,
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik
dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang
kamu beriman kepada-Nya.”
Sedangkan di surat Al-Baqarah ayat 172
berbunyi,
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di
antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah
kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”
Allah SWT memerintah manusia untuk makan yang
halal dan thoyyib (baik), sedangkan
pada ayat kedua ketika Allah memerintahkan hal yang sama, makan, pada orang
beriman, perintah Allah adalah makanalah yang thoyyib (baik). Allah tidak lagi menggunakan kata halal karena bagi
orang yang beriman aktivitas makan tak boleh hanya sebatas mengisi perut, tapi
bagaimana makanan yag terisi adalah makanan yang tidak hanya jelas saja
kehalalannya tapi juga pasti baik sehingga dia dapat beramal dan bekerja dengan
optimal untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah.
Melakukan hal yang sifatnya mubah memang
diperbolehkan, jika dilakukan tidak dosa tetapi tidak juga mendapat pahala,
alias bernilai 0. Jika dilihat dari tinngkatannya, hal-hal yang mubah lebih
dekat kepada yang syubhat dan haram.
Mengobrol adalah hal yang mubah tetapi lebih sering akhirnya kita terjebak pada
ghibah apalagi fitnah, menonton juga
hal yang mubah tetapi pada akhirnya sering melalaikan dan melenakan karena
kualitas tontonan yang kurang baik dan tidak mendidik akhirnya hanya
menyia-nyiakan waktu kita. Maka hal-hal yang mubah apabila tidak kita jaga
dengan baik akan menjadi pintu-pintu maksiat yang tidak kita sadari, naudzubillahimin dzalik.
Sifat
taqwa yang dimiliki Rasulullah SAW, para sahabat, dan shalafush shalih adalah sifat zuhud
dan wara’. Sifat zuhud yaitu meninggalkan atau menggunakan secukupnya hal-hal yang
halal sebatas untuk mendukung untuk beramal soleh, dan wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat. Pada tingkatan
inilah seseorang bisa meraih derajat taqwa dan Ramadan adalah bulan yang telah
Allah siapkan agar kita bisa meraih derajat tersebut. Pada bulan Ramadan kita
shaum atau menahan diri dari makan dan minum padahal itu halal bagi kita, kita
disunnahkan untuk sahur atau sarapan awal waktu sehingga mengurangi waktu tidur
kita padahal tidur halal bagi kita. Qiyamul
lail, solat malam, pada saat bulan Ramadan setelah mengerjakan sholat isya
kita disunnahkan untuk mengerjakan sholat tarawih dan witir padahal selepas
sholat isya adalah waktu yang biasa kita gunakan untuk bercengkerama dengan
keluarga kita sambil menonton tv atau makanan ringan, padahal itu semua halal
untuk kita. Di bulan Ramadan juga kita dianjurkan untuk memperbanyak shodaqoh
bahkan di akhir ramadhan kita diperintahkan untuk membayar zakat padahal harta
yang kita miliki tentu halal untuk kita gunakan untuk apapun yang kita mau,
tapi di bulan ramadhan kita diajak agar harta kita tak hanya habis untuk yang
halal, tetapi ia juga harus kita bagi untuk yang bermanfaat agar harta kita
berkah.
“Perumpamaan
(nafkah yang di keluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir, seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah : 261)
“Tidak akan
berkurang rezeki orang yang bersedekah, kecuali
bertambah, bertambah, bertambah.”
(HR. Al Tirmidzi)
Ramadan juga dikenal sebagai bulan Al Qur’an,
di mana pada bulan yang mulia itulah Allah SWT menurunkan Al Qur’an ke langit
dunia sebagai rahmat dan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka di bulan
yang mulia ini, kita juga diperintahkan untuk menambah porsi waktu kita untuk
berinteraksi dengan Al Qur’an, di mana pada bulan yang lain waktu kita lebih
banyak kita isi dengan berbagai kesibukan dunia meskipun itu halal untuk kita
kerjakan, agar kesibukan tak jadi tuhan baru dalam hidup kita.
Amalan-amalan itulah dan amalan sunnah yang
lain yang kita kerjakan pada bulan ramadhan untuk meriah ketaqwaan di sisi
Allah Swt yang akan memangkas habis maksiat kita sehingga sifat-sifat mulia
kita muncul sehingga nafsu kita naik tingkat menjadi nafsu mutma’inah, dalam
surat al-fajr (89): 27-30 Allah terangkan:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah
hamba-hamba-Ku,dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Semoga Allah bimbing kita agar mampu mendidik
hawa nafsu kita menjadi nafsu mutma’inah hingga tiba saatnya nanti kita bisa
termasuk dalam golongan orang-orang yang Allah panggil dalam surat Al Fajr
tersebut. Aamiin.
Penutup
Ramadan
sebagai bulan yang mulia apabila kita manfaatkan dengan baik insha Allah akan
mebuat nafsu kita menjadi hawa nafsu mutma’inah. Oleh karena itulah dibutuhkan
berbagai persiapan dan usaha sebelum bulan ramadhan untuk meingkatkan kuantitas
dan kualitas amal shalih agar saat Ramadan tiba kita sudah akrab dengan
berbagai amal soleh yang insha Allah akan mengantarkan kita menjadi hamba-hamba
Allah yang bertaqwa, la allaqum
tattaquun. Aamiin ya robbal a’alamiin.
0 komentar:
Posting Komentar