Sabtu, 25 April 2015

KURMA (Kupas Tuntas Seputar Ramadan) bagian 2 Mengajak Nafsu Menikmati Ramadhan




Selasa, 21 April 2015
Pemateri : Ustaz Ahmad Rofiqi L.c.



Pernahkah sahabat mendengar ungkapan bahwa Allah membelenggu setan ketika Ramadan? Ya, pada bulan Ramadan Allah meringankan gangguan dari luar diri kita untuk menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dengan membelenggu setan. Mari kita simak hadits berikut ini.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra., bahwasanya Rasul SAW bersabda: “Apabila telah datang Ramadan, pintu-pintu surga dibukakan, pintu-pintu-pintu neraka ditutup rapat dan setan-setan dibelenggu.” 
Walaupun begitu, tidak sedikit dari kita yang masih merasa berat untuk beribadah selama bulan Ramadan. Hal tersebut dapat disebabkan karena ketidakmampuan kita untuk mengendalikan hawa nafsu. Bagaimanakah hawa nafsu memengaruhi kualitas Ramadan kita? Apakah hawa nafsu itu sebenarnya? Sebelum membahas jauh tentang Ramadan, mari kita kenali hawa nafsu itu sendiri.

Unsur yang membentuk diri kita
Manusia diciptakan terdiri dari 2 unsur, basyr dan ruh. Unsur basyr merupakan unsur fisik atau materi  manusia berupa jasad yang diciptakan dari tanah dan dihuni oleh ruh manusia. Unsur basyr mengalami proses penciptaan manusia di dalam rahim ibu. Unsur basyr inilah yang memungkinkan kita untuk menjalankan fungsi manusia makan, tidur, berlari, berjalan, bekerja, lebih jauh menjalankan fungsi kita sebagai khalifah.
Unsur kedua yaitu unsur ruh. Unsur ruh merupakan bagian dari manusia yang bersifat nonmateri. Unsur ruh lah yang membuat basyr hidup. Unsur ini tercipta terlebih dulu sebelum unsur basyr dan penggabungan dua unsur tersebut tidak diketahui prosesnya.
“Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu).
Perpaduan antara ruh dan basyr diistilahkan dengan an-nafsu. Dalam surat Asy-Syams, Allah Swt menerangkan:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-syams (91): 7-10)

Potenti taat dan fujur pada manusia
Pada dasarnya Allah SWT telah mengilhamkan potensi taat dan fujur kepada setiap manusia. Potensi taat merupakan potensi keimanan manusia menuju kesempurnaannya sebagai hamba Allah, dan potensi ini dikendalikan oleh unsur ruhiyah manusia. Sedangkan potensi fujur dikendalikan oleh basyr, suatu potensi yang apabila dipisahkan dari unsur ruhiyah maka sifat manusia tersebut akan menyerupai binatang. Ketika seorang manusia meninggalkan potensi taat yang dikendalikan ruhiyah, maka manusia tersebut sifatnya akan menyerupai binatang yang hanya menjalankan fungsi makan, tidur, bekerja. Unsur fujur bukanlah dosa karena memang itu adalah fitrah kemanusiaan, dosa ada pada penyalahgunaan potensi tersebut untuk berbuat maksiat.
Lalu apa kaitannya taat dan fujur dengan hawa nafsu? 
Basyr dan ruh merupakan unsur nafsu yang memiliki untuk potensi taat dan fujur. Potensi tersebut adalah fitrah manusia yang tidak perlu dihilangkan melainkan diselaraskan dengan tujuan menjadikan manusia makhluk yang bertaqwa dan selaras dalam kehidupannya sehingga bisa menjadi khalifah di bumi ini.
Menurut Al Qur’an, nafsu ada 3 macam:
1.      Nafsu amara yaitu nafsu yang mendorong manusia untuk berbuat dosa. Nafsu seperti ini terdapat dalam surat Yusuf yang mengisahkan keinginan Zulaikha untuk berhubungan dengan Nabi Yusuf as.

Nafsu amara terdiri dari 4 jenis:
a.       Al-malaqiyah yaitu nafsu berupa menuhakan diri sendiri selalu ingin menang, dan ingin diagungkan seperti Fir’aun dan Qarun.
b.      Asy-syaitoniyah yaitu membangkang, mengetahui kebenaran tetapi memilih membankang seperti sifat syaitan. Sifat ini dimiliki oleh orang-orang liberal, atau aliran sesat lain, syiah.
c.       Sab’iyah yaitu sifat yang dimiliki hewan-hewan pemangsa dan ganas yang suka memangsa seperti harimau seperti marah, memusuhi, iri, dengki, hasad, dll.
d.      Al-bahimiyah yaitu sifat hewan ternak, yaitu hanya makan, tidur, bersenggama, banyak bicara, dan inilah sifat yang paling banyak ditemui pada manusia saat ini.

2.      Nafsu lawamah yaitu nafsu yang mencela diri kita saat berbuat maksiat, nafsu yang memunculkan perasaan gelisah setelah berbuat dosa, disadari atau tidak. Nafsu lawamah adalah nafsu yang telah mengenal kebaikan.

Dari Nawwas bin Sam’an radhiallahuanhu, dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengaggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui  manusia.” (Riwayat Muslim)

3.      Nafsu mutma’inah jiwa yang telah mendapat ketenangan; telah sanggup untuk menerima cahaya kebenaran sang Ilahi. Terdapat dalam surat Al Fajr ayat 27-28. Nafsu ini dimiliki oleh orang-orang yang dekat dengan Allah.

Hai jiwa yang tenang, kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan ridho dan diridhoi.” (QS Al Fajr: 27-28)

Bagaimana kemaksiatan terjadi?
Perbuatan maksiat yang kita lakukan terjadi karena nafsu amara mengalahkan kendali ruhiyah. Allah menjelaskan sifat orang-orang yang memenuhi neraka jahanam dalam firmannya:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.  Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-a’raf: 179)
Saat fujur mendominasi, kemudian kehilangan kendali ruhiyah maka tak ada ketaatan pada Allah, selain hidupnya hanya memenuhi keinginan dan kebutuhan fisik nya saja, jika manusia seperti ini maka apa bedanya dengan hewan ternak yang hidupnya hanya makan, tidur, bereproduksi.
Nafsu amara yang dididik untuk mengenal dan memahami kebenaran maka akan naik tingkat menjadi nafsu lawamah, nafsu yang akan mencela diri dan bergejolak ketika kita melakukan maksiat. Ketika nafsu lawamah yang mencegah kita berbuat maksiat ini kita turuti maka nafsu ini akan naik tingkat menjadi nafsu mutma’inah. Pada kondisi ini lah kita mampu menselaraskan unsur dari diri kita yaitu ruh dan basyr. Keselarasan ini lah yang insha Allah mampu membuat kita menjalankan fungsi khalifah di muka bumi. Ketika makan yang sehat dan tidak berlebihan, ketika kita bekerja maka kerjanya tak hanya untuk semata-mata mencari uang tetapi untuk beramal terbaik untuk bermanfaat bagi diri, keluarga, dan umat maka dihindari lah sumber penghasilan yang haram, memiliki keturunan dengan jalan yang terhormat yaitu dengan menikah, dsb. Bukanlah harus membunuh hawa nafsu tetapi bagaimana kita harus mendidik hawa nafsu kita agar menjadi hawa nafsu mutma’inah, hawa nafsu yang selaras, hawa nafsu yang dipimpin dengan taqwa kepada Allah SWT.
Lalu bagaimana ramadhan dapat mendidik hawa nafsu kita sehingga menjadi nafsu yang mutma’inah?

Ramadan mendidik kita menjadi hamba Allah yang bertaqwa
Hakikat atau tujuan bulan Ramadan adalah mendidik kita menjadi hamba Allah yang bertaqwa, la allaqum tattaquun. Puasa yang kita laksanakan selama sebulan penuh di bulan Ramadan membuat kita lepas dari sifat binatang kemudian menjadi hamba Allah yang mulia, sebagai Khalifah di bumi. Karena di saat kita melaksanakan shaum ramadhan kita tak hanya meninggalkan sesuatu yang haram tetapi juga meninggalkan yang halal untuk meraih keridhaan Allah Swt. Apa maksud meninggalkan yang halal? Selama ramadhan kita tidak makan padahal makan halal bagi kita, kita tidak minum padahal minum halal untuk kita, tidak bersenggama padahal itu halal bagi yang sudah menikah, dan semua kehalalan itu kita tinggalkan semata-mata untuk meraih keridaan Allah. Karakteristik orang yang bertaqwa adalah menjalani perintah dan menjauhi larangan.
Islam memiliki 5 tingkatan perintah yaitu, haramat, makruhat/syubhat, mubahat/halalat, sunnah, wajib. 
Dari 5 tingkatan itu kita dapat lebih memahami bahwa saat kita shaum Ramadan kita tidak hanya meninggalkan yang haram atau syubhat tapi juga meninggalkan yang halal atau mubah sehingga fokus kita adalah melaksanakan yang wajib dan sunnah. Ketika kita akan melakukan sesuatu pertanyaan kita bukan lagi apakah ini halal, tetapi apakah ini diwajibkan, apakah ini disunnahkan? Ini lah karakteristik orang –orang yang bertaqwa menjalankan perintah Allah Swt yang wajib dan sunnah dan bersungguh-sungguh menjaga diri dan keluarga dari apa yang Allah larang. Dalam surat Al-Maidah ayat 88, Allah menerangkan,
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
Sedangkan di surat Al-Baqarah ayat 172 berbunyi,
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”
Allah SWT memerintah manusia untuk makan yang halal dan thoyyib (baik), sedangkan pada ayat kedua ketika Allah memerintahkan hal yang sama, makan, pada orang beriman, perintah Allah adalah makanalah yang thoyyib (baik). Allah tidak lagi menggunakan kata halal karena bagi orang yang beriman aktivitas makan tak boleh hanya sebatas mengisi perut, tapi bagaimana makanan yag terisi adalah makanan yang tidak hanya jelas saja kehalalannya tapi juga pasti baik sehingga dia dapat beramal dan bekerja dengan optimal untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah.
Melakukan hal yang sifatnya mubah memang diperbolehkan, jika dilakukan tidak dosa tetapi tidak juga mendapat pahala, alias bernilai 0. Jika dilihat dari tinngkatannya, hal-hal yang mubah lebih dekat kepada yang syubhat dan haram. Mengobrol adalah hal yang mubah tetapi lebih sering akhirnya kita terjebak pada ghibah apalagi fitnah, menonton juga hal yang mubah tetapi pada akhirnya sering melalaikan dan melenakan karena kualitas tontonan yang kurang baik dan tidak mendidik akhirnya hanya menyia-nyiakan waktu kita. Maka hal-hal yang mubah apabila tidak kita jaga dengan baik akan menjadi pintu-pintu maksiat yang tidak kita sadari, naudzubillahimin dzalik.
Sifat taqwa yang dimiliki Rasulullah SAW, para sahabat, dan shalafush shalih adalah sifat zuhud dan wara’. Sifat zuhud yaitu meninggalkan atau menggunakan secukupnya hal-hal yang halal sebatas untuk mendukung untuk beramal soleh, dan wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat. Pada tingkatan inilah seseorang bisa meraih derajat taqwa dan Ramadan adalah bulan yang telah Allah siapkan agar kita bisa meraih derajat tersebut. Pada bulan Ramadan kita shaum atau menahan diri dari makan dan minum padahal itu halal bagi kita, kita disunnahkan untuk sahur atau sarapan awal waktu sehingga mengurangi waktu tidur kita padahal tidur halal bagi kita. Qiyamul lail, solat malam, pada saat bulan Ramadan setelah mengerjakan sholat isya kita disunnahkan untuk mengerjakan sholat tarawih dan witir padahal selepas sholat isya adalah waktu yang biasa kita gunakan untuk bercengkerama dengan keluarga kita sambil menonton tv atau makanan ringan, padahal itu semua halal untuk kita. Di bulan Ramadan juga kita dianjurkan untuk memperbanyak shodaqoh bahkan di akhir ramadhan kita diperintahkan untuk membayar zakat padahal harta yang kita miliki tentu halal untuk kita gunakan untuk apapun yang kita mau, tapi di bulan ramadhan kita diajak agar harta kita tak hanya habis untuk yang halal, tetapi ia juga harus kita bagi untuk yang bermanfaat agar harta kita berkah.
“Perumpamaan (nafkah yang di keluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir, seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah : 261)
“Tidak akan berkurang rezeki orang yang bersedekah, kecuali bertambah, bertambah, bertambah.”
(HR. Al Tirmidzi)
Ramadan juga dikenal sebagai bulan Al Qur’an, di mana pada bulan yang mulia itulah Allah SWT menurunkan Al Qur’an ke langit dunia sebagai rahmat dan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka di bulan yang mulia ini, kita juga diperintahkan untuk menambah porsi waktu kita untuk berinteraksi dengan Al Qur’an, di mana pada bulan yang lain waktu kita lebih banyak kita isi dengan berbagai kesibukan dunia meskipun itu halal untuk kita kerjakan, agar kesibukan tak jadi tuhan baru dalam hidup kita.
Amalan-amalan itulah dan amalan sunnah yang lain yang kita kerjakan pada bulan ramadhan untuk meriah ketaqwaan di sisi Allah Swt yang akan memangkas habis maksiat kita sehingga sifat-sifat mulia kita muncul sehingga nafsu kita naik tingkat menjadi nafsu mutma’inah, dalam surat al-fajr (89): 27-30 Allah terangkan:
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku,dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Semoga Allah bimbing kita agar mampu mendidik hawa nafsu kita menjadi nafsu mutma’inah hingga tiba saatnya nanti kita bisa termasuk dalam golongan orang-orang yang Allah panggil dalam surat Al Fajr tersebut. Aamiin.

Penutup
Ramadan sebagai bulan yang mulia apabila kita manfaatkan dengan baik insha Allah akan mebuat nafsu kita menjadi hawa nafsu mutma’inah. Oleh karena itulah dibutuhkan berbagai persiapan dan usaha sebelum bulan ramadhan untuk meingkatkan kuantitas dan kualitas amal shalih agar saat Ramadan tiba kita sudah akrab dengan berbagai amal soleh yang insha Allah akan mengantarkan kita menjadi hamba-hamba Allah yang bertaqwa, la allaqum tattaquun. Aamiin ya robbal a’alamiin.







0 komentar:

Posting Komentar